Tiffoni Ceisar
2SA01
1766901
Bab I
Pendahuluan
A) Latar Belakang
Manusia pada umumnya
dilahirkan seorang diri. Namun sejak awal kehidupannya dia sudah membutuhkan
bantuan orang lain dalam proses kelahirannya. Manusia memiliki naluri
untuk selalu hidup dengan orang lain. Manusia apabila dibandingkan dengan
makhluk-makhluk hidup lainnya, seperti hewan, maka dia tidak akan dapat hidup
sendiri karena manusia tidak dikaruniai Tuhan dengan alat-alat fisik yang cukup
untuk dapat hidup sendiri, misalnya kuku dan gigi yang kuat untuk mencari makan
sendiri pada Harimau,. Manusia tanpa manusia pasti akan mati. Hal inilah
yang mendasari bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Seperti yang telah kita
ketahui, manusia pertama yang ada di bumi yaitu Adam telah ditakdirkan untuk
hidup bersama dengan manusia lain yaitu istrinya yang bernama Hawa.
Manusia mempunyai tingkatan
yang lebih tinggi dari makhluk lainnya, manusia juga mempunyai akal yang dapat
memperhitungkan tindakannya melalui proses belajar yang terus-menerus. Oleh
karena itu manusia harus
bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu
interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan
yang berlandaskan ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat
membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang
bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis
dan seimbang. Agar hasil dari pendidikan, yakni kebudayaan dapat
diimplementasikan dimasyaakat.
B)
Rumusan
Masalah
1)
Apa
hakikat manusia sebagai makhluk sosial ?
2)
Apa
hakikat manusia sebagai makhluk budaya ?
3)
Apa peranan
manusia sebagai makhluk sosial dan budaya ?
C)
Tujuan
1)
Mengetahui
hakikat manusia sebagai makhluk sosial
2)
Mengetahui
hakikat manusia sebagai makhluk budaya
3)
Mengetahui
peranan manusia sebagai makhluk sosial dan budaya
Bab II
Pembahasan
A) Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Makhluk
sosial adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan kehadiran
orang lain. Sebagai makhluk sosial ia memiliki tabiat suka kerjasama dan
bersaing sekaligus. Jika dalam bekerjasama dan bersaing mereka berlaku fair
(terbuka) maka harmoni sosial akan tercipta. Tetapi jika mereka bersaing secara
tidak fair (tertutup) maka konflik antar manusia bisa terjadi. Sebagai makhluk
social manusia merindukan harmoni social (perdamaian) tetapi juga tak pernah
berhenti dari konflik.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk
bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang
berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam
hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama
dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu
menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia
akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan
dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga
tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah
manusia. Diperkuat dengan dalil Aristoteles mengatakan Manusia
itu Zoon
Politicon yang artinya satu individu dengan individu lainnya saling
membutuhkan satu sama lain sehingga keterkaitan yang tak bisa dipisahkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedang menurut Freud,super-ego pribadi
manusia sudah mulai dibentuk ketika ia berumur 5-6 tahun dan perkembangan super-ego tersebut
berlangsung terus menerus selama ia hidup. Super-ego yang terdiri
dari atas hati nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi itu tidak mungkin
terbentuk dan berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya,
sehingga sudah jelas bahwa tanpa pergaulan sosial itu manusia itu tidak dapat
berkembang sebagai manusia seutuhnya.
Meskipun banyak spesies berprinsip sosial, manusia sebagai makhluk sosial akan membentuk kelompok
berdasarkan ikatan / pertalian genetik, perlindungan-diri, atau membagi
pengumpulan makanan dan penyalurannya, manusia dibedakan dengan rupa-rupa dan
kemajemukan dari adat kebiasaan yang mereka bentuk
entah untuk kelangsungan hidup individu atau kelompok dan untuk pengabadian dan
perkembangan teknologi, pengetahuan, serta kepercayaan. Identitas kelompok, penerimaan
dan dukungan dapat mendesak pengaruh kuat pada tingkah laku individu, tetapi
manusia juga unik dalam kemampuannya untuk membentuk dan beradaptasi ke
kelompok baru.
Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau
mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia
selalu membutuhkan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi,
berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dapat dikatakan bahwa
sejak lahir, dia sudah disebut sebagai makhluk sosial.
Dapat
disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena beberapa
alasan, yaitu :
1). Karena manusia
tunduk pada aturan yang berlaku.
2). Perilaku manusia
mengaharapkan suatu penilain dari orang lain.
3). Manusia memiliki
kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
4). Potensi manusia
akan berkembang bila ia hidup diantara manusia lain
Manusia
sebagai makhluk sosial memiliki 3 aspek penting dalam hidupnya, yaitu:
1) Aspek Organik
Aspek Organik
ini yaitu manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai fisik yang disebut
jasmani. Organ tubuh manusia mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki yang
membuat ia disebut sebagai manusia.
2) Aspek Psikologis
Yaitu unsur
rohaniah yang terdapat di dalam manusia sebagai makhluk sosial. Jiwa atau ruh
yang menjadikan seorang manusia itu hidup dan memiliki ciri-ciri hidup. Mulai
dari bernafas, tumbuh, berkembang hingga memiliki pemikiran yang bersifat abstrak.
Termasuk memiliki perasaan terhadap segala sesuatu yang dialaminya baik manusia
sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
3) Aspek Sosial
Aspek sosial
yang dimaksud adalah adanya kebersamaan
yang menjadi bagian dari ciri manusia sebagai makhluk sosial. Dalam situasi
atau kondisi tertentu mereka melakukan sesuatu secara bersama-sama. Mereka
melakukan kerjasama dengan manusia lainnya dalam upaya mewujudkan peranan
manusia sebagai makhluk sosial.
B)
Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya
tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk
menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya
sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha
menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang
gelar manusia berbudaya.
Manusia juga akan mulai berpikir tentang bagaimana caranya menggunakan
hewan atau binatang untuk lebih memudahkan kerja manusia dan menambah hasil usahannya
dalam kaitannya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Manusia sangat
mempunyai hasrat yang tinggi apabila dibandingkan dengan makhluk hidup yang
lain. Hasrat untuk selalu menambah hasil usahanya guna mempermudah lagi
perjuangan hidupnya menimbulkan perekonomian dalam lingkungan kerja sama yang
teratur. Hasrat disertai rasa keindahan menimbulkan kesenian. Hasrat akan
mengatur kedudukannya dalam alam sekitarnya, dalam menghadapai tenaga-tenaga
alam yang beraneka ragam bentuknya dan gaib, menimbulkan kepercayaan dan
keagamaan. Hasrat manusia yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu
disekitarnya menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ada hakekatnya kebudayaan mempunyai dua
segi, bagian yang tidak dapat dilepaskan hubungannya satu sama lain yaitu segi
kebendaan dan segi kerohanian. Segi kebendaan yaitu meliputi segala benda
buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya, serta bisa diraba. Segi
kerohanian terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun
teratur. Keduanya tidak bisa diraba.
Manusia adalah mahluk
berbudaya. Berbudaya merupakan kelebihan manusia dibanding mahluk lain. Dengan
berbudaya, manusia dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan hidupnya.
Manusia menggunakan akal dan budinya dalam berbudaya. Kebudayaan merupakan perangkat
yang ampuh dalam sejarah kehidupan manusia yang dapat berkembang dan
dikembangkan melalui sikap-sikap budaya yang mampu mendukungnya.
Banyak pengertian tentang budaya atau kebudayaan. Kroeber dan Kluckholn (1952) menginventarisasi lebih dari 160 definisi tentang kebudayaan, namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip.
Konsep kebudayaan membantu dalam membandingkan berbagai mahluk hidup. Isu yang sangat penting adalah kemampuan belajar. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel.
Banyak pengertian tentang budaya atau kebudayaan. Kroeber dan Kluckholn (1952) menginventarisasi lebih dari 160 definisi tentang kebudayaan, namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip.
Konsep kebudayaan membantu dalam membandingkan berbagai mahluk hidup. Isu yang sangat penting adalah kemampuan belajar. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel.
Berbeda dengan
binatang, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena
kemampuan dari manusia untuk belajar dan beradaptasi dengan apa yang telah
dipelajarinya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya
untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi
kesempurnaan hidupnya.
Kebudayaan
mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia
berbeda dengan binatang, bukan saja dalam banyaknya kebutuhan, namun juga dalam
cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebudayaanlah yang memberikan garis pemisah
antara manusia dan binatang.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instingtif diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk belajar dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan cara berfikir simbolik. Terlebih lagi manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting, perasaan, dengan pikiran, kemauan dan hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instingtif diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk belajar dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan cara berfikir simbolik. Terlebih lagi manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting, perasaan, dengan pikiran, kemauan dan hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian.
Manusia
adalah mahluk yang berbudaya. Berbudaya merupakan ciri khas kehidupan manusia
yang membedakannya dari mahluk lain. Manusia dilahirkan dalam suatu budaya
tertentu yang mempengaruhi kepribadiannya. Pada umumnya manusia sangat peka
terhadap budaya yang mendasari sikap dan perilakunya.
Kebudayaan
merupakan induk dari berbagai macam pranata yang dimiliki manusia dalam hidup
bermasyarakat. Etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur kebudayaan.
Ukuran etis dan tidak etis merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan.
Manusia membutuhkan kebudayaan, yang didalamnya terdapat unsur etika, untuk
bisa menjaga kelangsungan hidup. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang
menjaga tata aturan hidup.
Etika
dapat diciptakan, tetapi masyarakat yang beretika dan berbudaya hanya dapat
diciptakan dengan beberapa persyaratan dasar, yang membutuhkan
dukungan-dukungan, seperti dukungan politik, kebijakan, kepemimpinan dan
keberanian mengambil keputusan, serta pelaksanaan secara konsekuen. Selain itu
dibutuhkan pula ruang akomodasi, baik lokal maupun nasional di mana etika
diterapkan, pengawasan, pengamatan, dan adanya pihak-pihak yang memelihara
kehidupan etika. Kesadaran etis bisa tumbuh karena disertai akomodasi.
Berbudaya, selain didasarkan pada
etika juga terkandung estetika di dalamnya. Jika etika menyangkut analisis dan
penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab,
estetika membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana
seseorang bisa merasakannya.
Hakikat kodrat manusia itu adalah
Hakikat kodrat manusia itu adalah
1) sebagai individu yang berdiri sendiri (memiliki
cipta, rasa, dan karsa), 2) sebagai makhluk sosial yang terikat kepada
lingkungannya (lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya dan alam
3) sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Perbuatan-perbuatan
baik manusia haruslah sejalan dan sesuai dengan hakikat kodratinya.
Manusia dipandang mulia atau terhina tidak berdasarkan aspek fisiologisnya.
Aspek fisik bukanlah tolak ukur bagi derajat kemanusiaannya.Hakikat kodrati
manusia tersebut mencerminkan kelebihannya dibanding mahluk lain. Manusia
adalah makhluk berpikir yang bijaksana (homo sapiens), manusia sebagai pembuat
alat karena sadar keterbatasan inderanya sehingga memerlukan instrumen (homo
faber), manusia mampu berbicara (homo languens), manusia dapat bermasyarakat
(homo socious) dan berbudaya (homo humanis), manusia mampu mengadakan usaha
(homo economicus), serta manusia berkepercayaan dan beragama (homo religious),
sedangkan hewan memiliki daya pikir terbatas dan benda mati cenderung tidak
memliki perilaku dan tunduk pada hukum alam.
Keunggulan
manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab berkat ketekunannya memantau
berbagai gejala dan peristiwa alam. Manusia tidak lagi menemukan kenyataan
sebagai sesuatu yang selesai, melainkan sebagai peluang yang membuka berbagai
kemungkinan. Setiap kenyataan mengisyaratkan adanya kemungkinan. Transendensi
manusia terhadap kenyataan yang ditemuinya sebagai pembuka berbagai kemungkinan
itu merupakan kemampuannya yang paling mendasari perkembangan pengetahuannya.
Sebagai
bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama
harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem
budaya etnik lokal. Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan
sedang berada dalam proses pembentukannya. Sistem ini berlaku secara umum untuk
seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik
lokal.
Nilai-nilai
budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional bersifat prospektif,
misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa; pencarian kebenaran
duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan
inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar
prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi
kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku
bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.
Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistem budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, seperti dalam bahasa, seni, tata masyarakat, dan teknologi, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya.
Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistem budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, seperti dalam bahasa, seni, tata masyarakat, dan teknologi, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya.
C) Peranan Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Budaya
Individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang
tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya,
melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkahlaku spesifik tentang
dirinya. Akan tetapi dalam banyak hal banyak pula persamaan disamping hal-hal
yang spesifik tentang dirinya dengan orang lain. Disini jelas bahwa individu
adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas didalam
lingkungan sosaialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian, serta pola tingkah
laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia
dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai
tiga aspek yang melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek
psikis rohaniah, dan aspek sosial. Apabila terjadi kegoncangan pada salah satu
aspek, maka akan membawa akibat pada aspek yang lainnya.
Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem serta
habitat manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau
kebijakan-kebijakan tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi
lingkungan dan manusia itu sendiri.
Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana hubungan kita sebagai manusia dan lingkungan kita. Hal ini memerlukan pembiasaan diri yang dapat membuat kita menyadari hubungan manusia dengan lingkungan. Manusia memiliki tugas untuk menjaga lingkungan demi menjaga kelansungan hidup manusia itu sendiri dimasa akan datang.
Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana hubungan kita sebagai manusia dan lingkungan kita. Hal ini memerlukan pembiasaan diri yang dapat membuat kita menyadari hubungan manusia dengan lingkungan. Manusia memiliki tugas untuk menjaga lingkungan demi menjaga kelansungan hidup manusia itu sendiri dimasa akan datang.
Begitu pula peranan manusia sebagai makhluk yang
berbudaya yang mulai luntur seperti budaya gotong royong. Dalam pengertian
manusia diatas kita telah membahas bahwa manusia adalah mahluk sosial yaitu
dimana manusia tidak dapat hidup sendiri melainkan hidup berdampingan antara
individu satu dengan individu yang lain. Gotong royong di Indonesia sendiri
merupakan suatu istilah yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu
hasil atau tujuan yang sudah direncanakan. Sikap gotong royong adalah bekerja
bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati
hasil pekerjaan tersebut secara adil, atau suatu usaha atau pekerjaan yang
dilakukan tanpa pamrih dan secara suka rela oleh semua warga menurut batas
kemampuannya masing-masing. Pekerjaan jika dilakukan dengan cara gotong royong
akan lebih mudah dan ringan. Pada dasarnya manusia itu tergantung pada manusia
lainnya, dan bahwa manusia tidak hidup sendiri melainkan hidup bersama dengan
orang lain atau lingkungan sosial. Sifat gotong royong dan kekeluargaan didaerah
pedesaan lebih menonjol dalam pola kehidupan mereka, seperti memperbaiki dan
membersihkan jalan, masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih
banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan
yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur
tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja
sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir
seragam. Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara
langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah
perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak
banyak omong. Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang
lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi
sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga
dalam bentuk penghargaan sosial. Ciri-ciri yang telah diungkapkan di atas yang
seharusnya menjadi identitas mereka, di sebagian masyarakat pedesaan hal
tersebut telah pudar bahkan sebagian lagi telah hilang ditelan zaman. Contoh
konkrit, gotong royong. Masyarakat pedesaan tempo dulu menjadikan gotong royong
sebagai sebuah kearifan lokal. Bahkan menjadi sebuah gunjingan di kalangan
masyarakat jika ada seseorang yang tidak mau ikut campur dalam kegiatan
tersebut. Tapi sekarang, hal ini telah dilupakan dan terkesan individualis,
yang notabene hidup individualis adalah ciri masyarakat perkotaan dan
perumahan.
Sedangkan di perkotaan gotong royong dapat dijumpai
dalam kegiatan kerja bakti di lingkungan rumah, disekolah dan
bahkan dikantor-kantor, misalnya pada saat memperingati hari-hari besar
nasional dan keagamaan, mereka bekerja tanpa imbalan jasa, karena demi kepentingan
bersama. Dari sini timbulah rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong,
sehingga dapat terbina rasa kesatuan dan persatuan nasional, di bandingkan
dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri maka akan
memeperlambat pembangunan di suatu daerah. Kesadaran untuk memiliki rasa gotong
royong haruslah diawali dari diri kita masing-masing, memiliki rasa gotong
royong yang tinggi akan membangun solidaritas dan kepedulian terhadap
lingkungan juga bisa menurunkan rasa individualisme maupun kelompok. Dari
kesadaran untuk memiliki rasa tanggung jawab bersama akan menciptakan kerukunan
antar masyarakat. Sehingga ideologi-ideologi ekstrimisme atau radikal maupun
sikap liar dari masyarakat yang akhir-akhir ini bermunculan akan bisa
ditanggulangi yang akan menciptakan karakter bangsa sesuai falsafat pancasila.
BAB III
PENUTUP
A)
Kesimpulan
Manusia adalah makhluk sosial dan sudah terlahir
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan makhluk lain dalam bertahan hidup. Manusia
tidak dapat bertahan hidup tanpa manusia lain, tidak perduli seberapapun
berkuasa ia ataupun seberapa tinggi jabatannya.Manusia membutuhkan interaksi
dengan manusia lainnya.
Kebudayaan adalah yang membedakan manusia dari makhluk
lainnya. Kebudayaan turut pula
mempengaruhi kepribadian seseora, cara ia bertingkah laku dalam kehidupan
sehari – hari.
Setiap manusia mempunyai peranan masing-masing dalam
kehidupan sosial dan budaya yang mana jika salah satu aspel mulai hilang atau
luntur akan merubah tatanan kehidupan soial dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment